Kadang apa yang kita rasakan tidak sejalan dengan pemikiran. Begitu juga pemikiran, tidak selalu sejalan dengan perasaan. Saat seperti itu sepertinya tak ada satu kata pun yang bisa mewakili. Entah kata itu keluar berdasarkan pemikiran atau perasaan. Mereka berdua sedang tak sejalan. Sibuk mencari alasan mereka sendiri tentang apa yang mereka yakinin.
Diam, mungkin adalah satu cara mengatasinya. Jika kamu tidak tau lagi apa yang harus kamu lakukan, apalagi yang harus kamu rasakan. Diam saja. Nikmati saja yang terjadi. Tak usah berkomentar apa pun. Kamu akan mengerti nanti karena diammu. Diam bukan berarti kamu tak usaha apa apa. Kamu sedang berusaha memahami dengan cara menikmati. Menikmati nya, tenggelam didalamnya.
Sabtu, 27 Juni 2015
Diam
Rabu, 24 Juni 2015
Sendu
Sepi, aku mulai bisa merasakan nya sekarang. Rasa sepi ini selalu berakhir sendu. Tapi aku menyukainya. Dengan begini, aku bisa merasakan rindu. Rindu dengan hal-hal yang biasa ku lakukan dulu.
Rindu, memperhatikan dan diperhatikan. Rindu canda tawa, rindu hal-hal yang tak ada lagi saat ini. Sesak memang rasanya. Tapi tak apalah, tak ada rasa yang tak bisa dinikmati kan?
Mata ini, kemana memandang selalu saja diingatkan. Entah yang ku lihat itu mengingatkan atau memang mata ini yang selalu memiliki bayangan yang mengingatkan. Tentu hal ini tak akan pernah ku rasakan jika aku tak seperti sekarang ini.
Buat kamu, entah kata-kata itu buat aku atau bukan. Aku juga rindu. Maaf jika kenginan ini begitu menyiksa. Percayalah, akan ada banyak rasa yang kita rasakan saat berada diposisi seperti ini. Perasaan tak akan teruji jika tak begini. Semakin kuatkah ia? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Terkadang, memiliki justru membuat kita lupa. Lupa bahwa tak ada yang benar-benar kita miliki. Seperti tulisan tere liye, apa arti memiliki? Jika diri kami sendiri bukanlah milik kami. Kamu tau? Apa yang ada di sekitar kita untuk kita jaga. Seperti kamu menjagaku dulu.
Walaupun saat ini, rindu membunuh. Tapi ini lebih baik ku rasa. Dari pada rasa khawatir, cemburu dan takut yang terasa. Aku ingin begini saja. Biarkan aku begini. Entah sampai kapan.
Selasa, 23 Juni 2015
Kalimat Terakhir
Saat aku melihat, aku memilih. Saat aku berbicara, aku berkomitmen. Saat aku mencoba, aku siap menanggung segala resikonya.
Ya begitulah kalimatnya. Kalimat terakhirnya saat coba meyakinkan hatinya sendiri dan bahkan hatiku. Dewasa banget. Entah, aku cuma bisa merasakan sesaknya dada saat membaca kalimatnya. Seperti seorang gadis bodoh yang melepaskan seseorang yang begitu yakin dengannya, sedangkan dirinya sendiri tidak yakin. Tidak yakin dengan pilihannya sendiri.
Ya gadis itu aku. Aku yang masih tetap kekeuh ingin merasakan kesendirian. Tetap keras kepala ingin mengegoiskan diri. Entah, aku nggak tau keputusan yang aku buat ini benar atau salah. Aku hanya ingin mengikuti kata hati. Biarkan aku belajar tentang hatiku sendiri. Karena aku gak akan pernah tau. Biarkan kaki kecil ini melangkah lebih jauh sebisa mungkin. Mengejar cita citanya tanpa cinta. Cinta, cinta yang ada justru enggan dia rasakan.
Mungkin, hati ini akan ku tutup. Ku biarkan dia sepi. Ku biarkan dia kosong. Suatu saat, dia akan terbuka dengan sendirinya jika dia ingin, dia akan membawa satu nama di dalamnya. Dan dia tak akan lagi membiarkan ruangannya kosong. Entah kapan, siapa, dan kejadian seperti apa yang bisa membuatnya terbuka. Aku hanya bisa berdoa, semoga saat itu adalah saat dimana aku tak akan pernah menutup nya lagi.
Minggu, 21 Juni 2015
Tak Tetap dan Fana
Seperti udara, tak terlihat tapi bisa dirasakan. Seperti musim, semua bergantung pada masanya. Seperti fiksi, tidak bisa selalu disebut sebagai kenyataan. Seperti fatamorgana, yang hanya terlihat sementara alias hanya bayangan. Seperti itulah sebuah perasaan menurutku.
Tak tetap dan bisa berubah kapanpun, bagaimanapun, dan tanpa alasan apapun. Aku tidak mengerti dan hanya berusaha menerjemahkannya setiap hari. Huh seperti bahasa planet yang tidak dimengerti. Tapi setidaknya proses itu akan membuatku menjadi tahu, walau aku tak mengerti. Tahu dan tidak buta. Aku merasakannya. Hanya saja kenapa itu bisa ku rasakan, itu yang tidakku mengerti.
Kata-kata pun mengalir dalam pikiran dan memerintah tangan untuk segera menulisnya. Menulis, aku lebih suka itu daripada harus berbicara. Gugup, kau tau? Aku sangat gugup saat aku berbicara. Aku hanya takut salah dalam berbicara. Tapi tak jarang emosi membuatku tak berdaya mengeluarkan ata yang tak bermakna.
Perasaan itu fana. Tak ada yang bisa membenarkan dan menyalahkan rasa. Itu anugerah. Perasaan itu jujur dan tak pernah bohong. Cara mengungkapkannya lah yang kadang ternodai. Dan ia tak tetap, kadang bisa berubah dengan cepat seperti bunglon. Tapi perasaan harus dikonsistenkan dengan komitmen. Begitulah rasa..
Sabtu, 20 Juni 2015
Perasaan Kita
Ada saat dimana hati ingin sendiri. Bahkan sangat amat ingin merasakan sepi. Entah apa enaknya merasa kesepian, entah apa yang bisa dihasilkan dengan sendiri. Tapi hati menginginkannya.
Kesendirian bukan sesuatu yang menyedihkan pikirku. Itu semua bentuk ketenangan yang aku inginkan. Perasaan ini, aku lelah dengan semuanya. Lelah merasakan setiap rasa yang mengalir. Sangat lelah. Karena perasaan itu tidak indah. Perasaan itu menyakitkan. Haruskah aku berpura pura untuk senang? Haruskah ada sandiwara?
Tak ada orang yang benar-benar mengerti soal hati. Bohong kalo ada orang yang benar-benar bisa memahami sepenuhnya hati orang lain. Memahami hati sendiri saja sulit.
Perasaan ini, perasaan kita. Bukan perasaan yang baik untuk diperjuangkan. Aku, aku tidak merasakannya, kenyamanan itu tidak ada. Ku pikir rasa nyaman itu tidak butuh waktu. Aku hanya ingin jujur. Perasaan kita tak menyatu. Perasaan kita tak erat. Tapi kenapa kau begitu yakin? Membuatku merasa menjadi orang yang paling jahat di dunia ini jika menolaknya. Masalahnya disini aku tak benar tau apa yang ada di dalam hatimu. Setiap kata dan permohonan yang kau lontarkan apakah itu sama dengan isi hati? Kau tau bahwa mulut tidak selalu sama seperti hati. Aku hanya tak ingin kau memandangku semu. Aku tak sebaik yang kau fikir. Aku, apa aku harus mengatakan hal itu. Aku terlalu takut dan pengecut untuk mengatakannya. Kebenaran memang selalu menyakitkan.